Kembali

Dinkes Purbalingga optimistis RUU Kesehatan atasi kekurangan dokter

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten mengaku optimistis Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang sedang digodok oleh DPR RI Purbalingga

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Purbalingga dokter Jusi Febrianto mengaku optimistis Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang sedang digodok oleh DPR RI dapat mengatasi masalah kekurangan dokter umum maupun dokter spesialis.

 

Saat dikonfirmasi di Purbalingga, Jawa Tengah, Senin, ia mengatakan hingga saat ini Kabupaten Purbalingga masih kekurangan dokter umum karena berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), satu orang dokter umum melayani 1.000 penduduk atau perbandingan 1:1.000.

 

"Jumlah penduduk Purbalingga 1.027.521 jiwa, sedangkan jumlah dokter umum yang dimiliki 207 orang, sehingga rasionya 0,2. Berarti masih kurang jauh," katanya.

 

Sementara soal kekurangan jumlah dokter spesialis, dia mengakui hal itu tidak mudah untuk mengukur ketercukupannya. Namun dari rata-rata nasional yang rasionya 0,46, Purbalingga rasionya 0,11. 

 

Ia mengatakan dua Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga yakni RSUD dr R Goeteng Taroenadibrata berkelas C dan RSUD Panti Nugroho berkelas D tidak ada kekurangan dokter spesialis.

 

"Namun kami kan ingin yang kelas C, RSUD Goeteng naik ke kelas B, dan Panti Nugroho dari D menjadi C," katanya.

 

Untuk menjadi RS kelas B, RSUD Goeteng belum memiliki beberapa dokter sub-spesialis seperti dokter ginjal dan hipertensi serta subspesialis neurointervensi untuk stroke.

 

Ia menduga salah satu penyebab kurangnya dokter spesialis adalah waktu pendidikannya cukup lama dan masih jarang Fakultas Kedokteran yang membuka program tersebut.

 

"Apalagi sub-spesialis, tambah lama lagi, tambah jarang lagi. Memang jumlah Fakultas Kedokteran yang ada program pendidikan dokter spesialis maupun sub-spesialis itu kan relatif hanya di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dan itu tidak semua Fakultas Kedokteran yang PTN punya sub-spesialisya memang seperti itu, jumlahnya masih jarang," katanya.

 

Disinggung kemungkinan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai salah satu faktor penghambat ketercukupan dokter, Kadinkes enggan memberikan tanggapan. terkait dengan dugaan tersebut.

 

Akan tetapi, dia mengatakan bahwa RUU Kesehatan omnibus law meliputi banyak subsistem yang meliputi upaya kesehatan; penelitian dan pengembangan kesehatan; pembiayaan kesehatan; sumber daya manusia kesehatan; ketersediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan; manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan; serta pemberdayaan masyarakat.

 

"Kalau yang dipermasalahkan itu seakan-akan sekarang hanya permasalahan SDM kesehatan. Padahal, transformasi kesehatan itu banyak, seakan-akan hanya permasalahan organisasi profesi yang mempermasalahkan rekomendasi saja, itu kan cuma satu dari sekian banyak subsistem," jelasnya.

 

Terkait solusi kekurangan dokter, ia mengatakan dilakukan melalui kerja sama dengan Fakultas Kedokteran, salah satunya dengan permintaan koas bagi dokter muda di RSUD Goeteng dan RSUD Panti Nugroho, termasuk puskesmas di Purbalingga. Selain itu pihaknya juga membuka program internship selama satu tahun bagi dokter umum maupun dokter gigi yang baru lulus.

 

Lebih lanjut, dia mengatakan ada dua hal penting dalam penambahan dokter, yakni transformasi di pendidikan atau universitasnya, rasio dihasilkan untuk dokter spesialis tidak 1:3 tetapi 1:5.

 

"Itu bisa mempercepat, jadi satu Fakultas Kedokteran bisa menghasilkan lima dokter spesialis," jelasnya.

 

Selain itu, kata dia, perubahan metode perkuliahan dari university based menjadi hospital based, sehingga kuliahnya tidak hanya di kampus karena dokter spesialis bisa eksis bukan karena kuliah di kampus tetapi belajar praktik di rumah sakit, sehingga diharapkan bisa mempercepat kapasitas produksi dokter spesialis.

 

"Dengan catatan yang menentukan kurikulum dan kelulusan itu tetap Kolegium, sehingga quality control-nya tetap terjaga," tegasnya.

 

Kemudian dari sisi pemangku kebijakannya, kata dia, harus mempermudah perizinan praktik dokter, dalam arti dokter lulusan luar negeri bisa pulang dan praktik di Tanah Air dengan mudah dan tidak dipersulit.

 

Oleh karena itu, kata dia, RUU Kesehatan bisa mengatasi masalah kekurangan dokter meskipun baru dari satu aspek subsistem sumber daya manusia.

 

RUU Kesehatan, lanjutnya, merupakan kesempatan untuk mempersiapkan atau menciptakan lanskap sistem kesehatan nasional yang lebih kuat dan lebih andal di dalam menghadapi tantangan layanan kesehatan yang akan datang.

 

"Ini peluang kita untuk mengubah lanskap kesehatan pascapandemi. Artinya, kan kita sudah tahu hal-hal yang masih perlu untuk diubah atau ditutup lubang-lubangnya, kekurangan-kekurangan kita itu," tegasnya.

 

Kendati demikian, dia mengharapkan dalam pembuatan undang-undang tersebut dapat mengakomodasi semua organisasi profesi di bidang kesehatan karena tanpa mereka, bidang kesehatan itu seperti maskapai penerbangan tetapi tidak ada pilotnya.

 

Oleh karena penyusunan RUU Kesehatan itu dilakukan atas inisiatif DPR RI, kata dia, legislator harus mendengarkan aspirasi dari para dokter dan tenaga kesehatan lainnya. "Saya kira, titik temunya pasti ada," kata Jusi. 

 

(Dikutip dari antaranews.com)