Kembali

Kemenkes Gelar Public Hearing RPMK Substansi Telekesehatan dan Telemedisin

Kepala BKPK Kemenkes Syarifah Liza Munira secara resmi membuka acara Public Hearing Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Substansi Telekesehatan dan Telemedisin pada Senin (9/9)

Jakarta, 9 September 2024

Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan (BKPK Kemenkes) Syarifah Liza Munira secara resmi membuka acara Public Hearing Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Substansi Telekesehatan dan Telemedisin pada Senin (9/9).

“Seperti diketahui di dalam agenda transformasi sistem kesehatan, Kemenkes melakukan transformasi regulasi dimana undang-undang kesehatan telah diterbitkan tahun lalu,” ungkap Liza. Dalam amanah turunannya, juga telah terbit peraturan pemerintah.

Liza menjelaskan, saat ini Kemenkes ingin mendapatkan informasi, masukan, dan kritik terkait bentuk, tantangan di lapangan, ekspektasi, serta model-model yang diketahui, yang berjalan atau tidak di luar negeri, dan bentuk-bentuk yang mungkin belum ada dalam telekesehatan atau telemedisin. Khususnya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Kami ingin mengatur rancangan peraturan telekesehatan dan telemedisin dengan sebaik-baiknya di Indonesia,” terang Liza.

Kepala BKPK Kemenkes menerangkan bahwa pertemuan ini untuk mendapatkan sebanyak mungkin masukan dan informasi sebagai bagian dari partisipasi publik. Masukan juga dapat disampaikan secara tertulis melalui laman situs web https://partisipasisehat.kemkes.go.id/.

Pada kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Bidang Teknologi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI sekaligus Chief Digital Transformation Office (DTO) Setiaji menyampaikan bahwa substansi PP No. 28 Tahun 2024 yang didelegasikan menjadi Peraturan Menteri Kesehatan diatur dalam Pasal 557 ayat 5, yang mengatur substansi persyaratan penyelenggaraan telekesehatan. Kemudian, Pasal 561 ayat 5 mengatur jenis pelayanan yang dapat diselenggarakan pada telemedisin, Pasal 562 ayat 3 mengatur STR dan SIP dalam penyelenggaraan telemedisin, serta Pasal 564 mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan telemedisin.

Layanan yang ada dalam konsep telekesehatan dan telemedisin yang diatur dalam RPMK ini mencakup layanan telemedisin, telekomunikasi, informasi, dan edukasi (KIE). "Kemudian ada yang berkaitan dengan administrasi kesehatan, termasuk juga telefarmasi," jelasnya.

Cakupan telemedisin meliputi telekonsultasi antara fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), telekonsultasi antara fasyankes dan masyarakat, telemonitoring, serta telefarmasi. Penyelenggara telekesehatan harus memenuhi persyaratan, yakni kepemilikan aplikasi oleh pemerintah, swasta, atau secara mandiri. Selain itu, harus tersedia sarana, prasarana, peralatan, serta sumber daya manusia (SDM).

“SDM ini semuanya wajib memiliki SIP dan STR,” jelas Setiaji. SDM yang wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktek (SIP) adalah tenaga medis dan tenaga kesehatan. Ini juga harus yang masih berlaku bila ingin menjalankan layanan telekesehatan dan telemedisin. Hal ini dilakukan untuk menjunjung kualitas layanan.

Penyelenggara layanan juga harus teregistrasi di Kemenkes dan didaftarkan pada Sistem Elektronik, termasuk Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), serta fasilitas penyelenggaraan yang tersedia.

Penyelenggaraannya diprioritaskan menggunakan metode penyampaian audio-visual, kecuali di daerah tertentu yang dapat menggunakan teks atau chat. Hal ini dilakukan untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian dan memastikan dokter memberikan pelayanan terbaik.

“Harus ada RME atau rekam medis elektronik,” jelas Setiaji. Setiap pelayanan harus dimasukkan ke dalam rekam medis elektronik berbasis ICD 10 dan ICD 9.

Setiaji mengemukakan, keluaran layanan ini meliputi diagnosis, rujukan tatap muka, rujukan telemedisin, peresepan, edukasi, dan terapi. Biaya layanan telemedisin diharapkan dapat dibiayai oleh JKN, asuransi swasta, maupun biaya mandiri. (Penulis Fachrudin Ali/Edit Timker HDI)